Ini adalah tahun kesekian sejak terakhir kita saling bertemu pandang.
Saat itu senja sudah habis, ditelan terang bulan malam.
Saat itu senja sudah habis, ditelan terang bulan malam.
Malam itu aku masih ingat. Suara dengungan sepeda motor kalah oleh detak jantung yang lebih kencang.
Alur rodanya masih sama berputar 360 drajat. Tak berkurang sedikitpun.
Memang aku tak pandai menghitung sistematika seperti itu. Aku lebih senang menghitung berapa detik yang diperlukan untuk pertemuan berikutnya, aku dan kamu.
Memang aku tak pandai menghitung sistematika seperti itu. Aku lebih senang menghitung berapa detik yang diperlukan untuk pertemuan berikutnya, aku dan kamu.
Sore ini, seperti biasanya muncul senja-senja yang tak biasa.
Mendung sore yang sendu hingga jatuhnya butiran air dari langit yang membasahi kaca jendela. Hujan memang pandai memutar waktu.
Mendung sore yang sendu hingga jatuhnya butiran air dari langit yang membasahi kaca jendela. Hujan memang pandai memutar waktu.
Aku masih ingat betul, bagaimana hujan pernah membawa kita bertemu untuk pertama kalinya. Hujan juga pernah menemani, saat kita duduk berdua dengan sebuah earphone yang kita bagi dua.
Yang aku tidak tau itu lagu apa. Yang jelas, wajah disampingku adalah yang kuingat saat seperti ini, saat hujan turun.
Yang aku tidak tau itu lagu apa. Yang jelas, wajah disampingku adalah yang kuingat saat seperti ini, saat hujan turun.
Aku tidaklah jatuh cinta pada pandangan pertama, yang tertutup hujan. Saat itu, semua berjalan sewajarnya, seperti biasanya. Seperti hujan yang biasanya tetap turun sampai ke bumi.
Iya, aku hanya jatuh cinta pada pandangan terakhir. Saat kita sudah berpisah, hingga waktu serasa tertunda.
Ini bukanlah cerita tentang hujan seperti yang tertulis disini. Ini hanya hujan yang turun seperti biasanya. Seperti biasanya, mampu memutar ke waktu-waktu yang tidak biasa.
- Rabu, Maret 18, 2015
- 5 Comments