SATU
Minggu, April 12, 2015
Bagi gue, masa muda terlalu lama jika hanya dihabiskan untuk kerja dan mengeluh. Kali ini gue mau nulis pengalaman gue dalam perjalanan ke Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
Hari pertama, Jum’at 3 April
2015.
Pekanbaru-Jakarta-Bogor
Perjalan kami mulai dari
Pekanbaru, Bandara International Sultan Syarif Qasyim II. Gue dan seorang teman
bernama Ari, cowok 23 tahun, jomblo, berangkat dengan penerbangan pukul 08:20
ke Jakarta. Penerbangan kali ini berjalan cukup lancar. Maskapai yang kami
tumpangi, yang terkenal delay itu, kali ini tepat waktu. Rejeki anak soleh.
Dalam pesawat, gue duduk di
tengah sedangkan Ari di sebelah kanan gue dekat jendela. Dia berulang kali
teriak sama penumpang sekitarnya waktu ngelihat awan dan pengin lompat dari
pesawat lewat jendela. Gue pura-pura ga kenal dia.
Di sebelah kiri gue ada seorang
nenek yang katanya baru pertama kali ini naik pesawat, seorang diri.
“nak, tolong matiin hp nenek.”
“nak, tolong pasangin sabuk
pengamannya. Nenek ga tau.”
“nak, tolong peluk nenek.” Ari
cekikikan. Gue pura-pura mati.
Penerbangan dari Pekanbaru ke
Jakarta menempuh waktu 1 jam 50 menit, kira-kira begitulah kata pramugarinya.
Waktu yang lumayan untuk dibunuh oleh kebosanan. Ari ngebaca buku sambil
sesekali merekam pemandangan di luar jendela, nenek disamping gue makan lemper
bekal bawaannya, gue Cuma diam. Nenek yang duduk disamping ngajak ngobrol, dia
memperkenalkan anak dan cucunya. Dia bilang cucunya cewek, gue merasa
dijodohin.
Pramugari sudah memberikan
pemberitahuan bahwa sebentar lagi pesawat mendarat. Gue memasang kembali sabuk
pengaman. Ari masih sibuk mengambil foto diluar jendela. Nenek disamping gue
udah minta hidupkan hpnya lagi. Sebagai warga yang taat peraturan gue coba
jelaskan bahwa handphone belum boleh diaktifkan. Nenek itu ngambek, dia ga mau
ngomong. Gue jadi ngerasa salah. Cowok selalu salah.
Pesawat sudah mendarat dan telah
parkir di jalurnya. Para penumpang lain sudah bersiap meninggalkan pesawat.
Handphone nenek itu sudah gue aktifin. Dia langsung menghubungi orang yang mau
menjemputnya. Gue punya firasat buruk.
“halo, halo, halo. Nak coba
telponin anak nenek.”
Gue ngambil handphone itu, nenek
tersebut sibuk bicara sendiri dengan nada keras menjadi pusat perhatian. Nenek
itu ngomong sambil menghadap ke arah gue. Orang seisi pesawat juga semuanya
menghadap ke gue, gue panik. Hanphone nenek itu masih dalam pegangan gue, Nenek
itu masih nyerocos. Gue ga menghiraukan, muka gue tambah panik. Gue takut
dikira cucu yang durhaka kepada nenek, Gue ga mau dikutuk jadi kemudi pesawat.
Lebih parahnya, gue takut dituduh mau menculik nenek tersebut. Gue pura-pura
mati.
Setelah turun dari pesawat, gue
memberi tahu kerabat nenek tersebut untuk penjemputannya. Kemudian nenek itu
berjalan mengikuti orang lainnya. Gue mengambil gambar saat turun dari tangga
pesawat, berbalik arah dan kemudian syok ketika melihat Ari turun dari tangga
pesawat sambil melambaikan tangannya ala putri indonesia.
Tiba di jakarta
Perjalanan selanjutnya adalah
menuju Bogor. Sebagai seorang yang pernah tinggal di Bogor –gue pernah kuliah
di Bogor- gue udah hapal jalan menuju ke sana. Simple, dari Bandara tinggal
naik Damri menuju Bogor, turun di pemberhentian terakhir. Nenek nenek juga tau.
Nungguin Damri jurusan Bogor
lewat ternyata lebih lama dari naik pesawat jurusan Pekanbaru- Jakarta. Gue dan
Ari sampai dehidrasi nungguinnya.
Tulisan Gambir kebaca jadi Bogor. Gue jadi ngerti kenapa ada patamorgana danau
di tengah tengah padang pasir. Hampir dua jam nuunggunya. Ari ngeluh, kesan
pertama dia ke Bogor dijalanin dengan menunggu Damri jurusan Bogor lewat,
hingga dehidrasi.
Akibat dehidrasi, lemon tea yang kita
beli di Jco bandara habis dengan cepat, begitu juga dengan dua potong ayam
goreng yang kami beli bersamaan dengan lemon tea tersebut.
“lu tau keapa gue asik ngambil
gambar waktu di pesawat tadi?” Ari tiba- tiba aja nyeletuk.
“ga tau, kenapa?”
“ngeliat pemandangan di luar
pesawat gue jadi sadar, kita ini kecil terhadap semesta, apalagi terhadap
Tuhan.”
Gue diam. Semua hal didunia
memang sudah diatur sedemikian rupa. Yang besar akan mengarahkan yang kecil,
termasuk semua kejadian di dalamnya. Termasuk pertemuan dengan nenek di pesawat
itu. Serta pertemuan – pertemuan yang akan terjadi selanjutnya. Gue Cuma harus
menjalaninya dengan sebaik mungkin dan menerimanya.
Bersambung......
3 komentar