Untuk kamu,
Sahabat yang hatinya masih menunggu Ge.
Terimakasih telah menyuratiku.
Aku tak pandai menulis surat cinta yang romantis. Seperti pulahan surat yang kau tujukan pada Ge-mu itu. Yang kau tulis tapi tak kau sertakan alamatnya itu.
Aku juga tak tau bagaimana caranya menyenangkan hati seorang kamu.
Tapi, aku tau betul menjadi seperti kamu.
Aku tau betul bagaimana rasanya menjadi memar luka, yang ingin diobati tapi malah ditutupi karena tidak ingin terlihat.
Sudahlah, jangan lagi sembunyi dibalik keceriaan palsu. Karena bagaimanapun, menunggu menghabiskan energimu. Apalagi menunggu seseorang yang tidak tau kalau sedang ditunggu.
Aku ingin memukulnya yang terus berjalan itu. Agar mukanya dapat melihat kau yang berada dibelakangnya.
Kau yang sakit digerogoti gengsi.
Salahmu sendiri tidak memberi tau.
Pakailah jirahmu. Majulah. Jika kau dapat menggapainya, kau menang. Jika tidak, kau mati, dalam usahamu. Bukan dalam angin pelan yang tidak bersuara.
Dan jika engkau mati. Hiduplah kembali pada kehidupan lainnya. Pada kehidupan yang engkau tidak digerogoti gengsi. Pada kehidupan yang kau mendapat kekuatan berani. Pada kehidupan yang dimana engkau berada di depannya, menghadap dia yang menghampirimu. Bukan lagi kehidupan bodoh yang membuatmu tak sanggup mengejarnya.
Dan jika engkau mati lagi. Gunakan hatimu untuk membuat kehidupan baru.
Selagi engkau berpikir. Aku harus meneruskan hidupku terlebih dahulu. Mencari cara baru untuk perempuanku. Aku takut, akhir akhir ini dia tidak berbicara padaku. Kau tau, mungkin dia seperti ge-mu itu. Yang disetiap kehidupan ingin kupertahankan.
Oh iya, aku masih punya hutang padamu. Perlu kamu tau, Aku bukanlah tuan yang ingkar janji. Tunggu saja, aku masih ingat. Paling tidak, menunggu janjiku tidak akan sesakit menunggu Ge.
Sebagai balasan dari suratmu.
Yang di seberang pulau sini.
- Minggu, Februari 22, 2015
- 2 Comments